Serial Fikih Muamalah (Bag. 18): Mengenal Khiyar karena Adanya Aib dan Kecacatan serta Pengaruhnya terhadap Akad Jual Beli
Kecacatan yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang dapat mengurangi nilai barang yang akan diakadkan menurut orang yang ahli di bidangnya; baik itu menurut pedagang maupun produsen barang tersebut. Jika sebuah akad terjadi pada barang yang memiliki cacat yang sudah lama (sebelum berlangsungnya akad), maka pembeli memiliki hak khiyar apabila penjual atau pemilik pertama belum menjelaskan dan memberitahukan adanya cacat tersebut saat berlangsungnya akad. Khiyar ini bertujuan untuk mencegah adanya kecurangan dan penipuan terhadap orang lain serta mencegah manusia untuk memakan harta orang lain dengan cara yang terlarang.
Lalu bagaimanakah hakikat khiyar aib ini? Bagaimanakah sikap ahli ilmu terhadapnya? Apa saja syarat sahnya? Dan apa saja pengaruhnya terhadap sebuah akad?
Hakikat khiyar aib
Khiyar aib adalah hak pembatalan akad dan berubahnya akad menjadi akad jaiz yang timbul apabila seseorang yang baru saja memiliki sesuatu yang sudah ditentukan barangnya mendapati adanya cacat yang tidak diketahui ketika berlangsungnya akad. Contohnya, seseorang yang baru saja membeli mobil lalu ia mendapati salah satu komponen mesinnya rusak sedangkan penjual menyembunyikannya darinya, bisa jadi dengan menutupinya atau mengelabuinya. Barulah ketika si pembeli ini membongkar mesinnya untuk sebuah keperluan, ia dapati komponen tersebut sudah rusak dan tidak berfungsi.
Pada kasus semacam ini, pihak pembeli diberi hak untuk membatalkan akad jual beli yang telah dilakukannya. Uang yang telah dibayarkan pun harus dikembalikan. Begitu pula mobil tersebut, maka juga dikembalikan ke pihak penjual.
Sikap ahli ilmu perihal khiyar aib
Para ahli ilmu sepakat akan adanya khiyar yang timbul karena cacat pada barang yang diakadkan apabila pembeli tidak mengetahui adanya cacat tersebut serta pihak penjual tidak menjelaskannya. Beberapa hal yang menguatkan adanya khiyar ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
المسلمُ أخو المسلمِ ولاَ يحلُّ لمسلمٍ باعَ من أخيهِ بيعًا فيهِ عيبٌ إلاَّ بيَّنَهُ لَه
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang kepada saudaranya yang di dalamnya ada cacat, kecuali ia menerangkan cacatnya tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 2246 dan Ahmad no. 17487)
Kedua: Hadis yang menceritakan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari melewati seseorang yang sedang berjualan makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam gundukan makanan tersebut sehingga jari-jarinya basah. Beliau bertanya, “Apa ini, wahai pemilik makanan?” Ia menjawab, “Kehujanan, wahai Rasulullah!” Rasulullah bersabda,
أفَلا جعلتَهُ فَوقَ الطَّعامِ حتَّى يراهُ النَّاسُ ثمَّ قالَ مَن غشَّ فلَيسَ منَّا
“Kenapa tidak engkau letakkan di (bagian) atas makanan sehingga orang-orang dapat melihatnya?” Kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa menipu, maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR. Tirmidzi no. 1315)
Menjual barang dengan menyembunyikan cacat yang ada padanya dianggap sebagai sebuah kecurangan dan penipuan yang tidak disetujui oleh syariat. Dan pensyariatan khiyar aib merupakan bentuk syariat mencegah terjadinya penipuan semacam ini.
Ketiga: Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا تُصَرُّوا الإبِلَ والغَنَمَ، فَمَنِ ابْتاعَها بَعْدُ فإنَّه بخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أنْ يَحْتَلِبَها: إنْ شاءَ أمْسَكَ، وإنْ شاءَ رَدَّها وصاعَ تَمْرٍ.
“Janganlah kalian melakukan tashriyah (tindakan membiarkan hewan penghasil susu, seperti kambing, sapi, atau onta, untuk tidak diperah beberapa hari, agar ambing susunya kelihatan besar sebelum dijual. Sehingga ketika dijual, pembeli menganggap, hewan yang dia beli susunya banyak) pada onta dan kambing. Siapa yang membeli hewan setelah dilakukan tashriyah, maka dia memiliki dua pilihan setelah dia perah susunya. Jika mau, dia bisa memilikinya dan tidak perlu dikembalikan. Dan jika mau, dia boleh mengembalikan hewan itu dengan memberikan satu sha’ (gantang) kurma.” (HR. Bukhari no. 2148)
Baca juga: Mengenal Khiyar Rukyah
Syarat berlakunya khiyar aib
Para ahli fikih menyaratkan beberapa syarat agar khiyar aib ini dapat berlaku, yaitu:
Pertama: Kepastian akan adanya cacat pada objek akad sebelum pihak pembeli menerima barang/ objek transaksinya. Jika cacatnya itu terjadi setelah si pembeli menerima barangnya, maka ia tidak lagi memiliki hak khiyar aib. Hal ini karena khiyar ini hanya berlaku apabila cacat yang terjadi sudah ada sebelum pembeli menerima barangnya.
Kedua: Kekurangan atau cacat yang ada berpengaruh terhadap berkurangnya nilai barang yang diakadkan menurut pandangan pedagang, seperti kuda tunggangan yang liar dan tidak mau diatur. Atau cacatnya ini membuat pembeli tidak bisa memanfaatkan objek transaksinya untuk melakukan sesuatu yang dibenarkan. Seperti seseorang yang membeli kambing, lalu ia mendapati bagian telinganya terpotong. Cacat pada telinganya ini membuat si pembeli tidak bisa memanfaatkannya untuk disembelih, meskipun cacat ini bisa jadi tidak mengurangi nilai barangnya tersebut. Atau seperti seseorang yang membeli baju, namun ukurannya kekecilan hingga ia tidak bisa memakainya. Pada kasus-kasus seperti ini seorang pembeli memiliki hak khiyar aib, meskipun aib dan cacatnya tidak mempengaruhi nilai jual barangnya.
Ketiga: Hendaknya cacat tersebut tetap ada pada objek akad sampai waktu di mana si pembeli mengajukan pembatalan akad dikarenakan adanya cacat tersebut. Jika cacatnya sudah hilang terlebih dahulu sebelum pembeli sempat mengajukan komplain/pembatalan akad, maka tidak ada lagi hak khiyar. Contohnya jika seseorang membeli seekor kuda yang lemas dan tidak prima, sedangkan dia belum mengetahui kondisi kudanya tersebut, akadnya pun sudah tuntas (selesai) sedang ia belum menerima kudanya tersebut. Lalu, ketika ia menerima kuda yang ia beli, kudanya tersebut sudah kembali membaik serta tidak lemas lagi. Maka cacat atau aib semacam ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang menyebabkan bolehnya pembatalan akad.
Keempat: Tidak adanya persyaratan dari penjual untuk berlepas diri dari cacat dan aib yang ada, atau tidak bertanggung jawabnya dirinya dari cacat yang akan ditemukan ke depannya pada barang yang diakadkan. Adapun jika pihak penjual menyaratkan hal tersebut, maka pihak pembeli sudah tidak memiliki lagi hak khiyar aib. Ini menurut pendapat Hanafiyyah, baik si penjual mengetahui adanya cacat tersebut ataupun tidak. Alasannya, pembeli ketika sudah deal dan setuju dengan kondisi barang yang diakadkan dengan adanya kemungkinan cacat padanya, maka ia sama saja telah menyetujui keberadaan cacat tersebut. Sehingga tidak ada lagi hak baginya untuk mengembalikan barang yang telah dibelinya pada waktu tersebut.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat Malikiyyah, di mana mereka memperinci masalah ini. Mereka membedakan antara kondisi penjual yang telah mengetahui adanya cacat pada barang tersebut dan kondisi di mana penjual tidak mengetahuinya. Pada kondisi ketidaktahuan akan adanya aib dan cacat pada barang tersebut, maka persyaratan yang diajukannya dapat dibenarkan, sehingga pembeli tidak memiliki lagi hak khiyar pada akad tersebut. Sedangkan pada kondisi si penjual mengetahui adanya aib, maka ia tidak dibenarkan untuk mengajukan persyaratan lepas tanggung jawab. Pihak pembeli memiliki hak khiyar aib apabila di kemudian hari ia menemukan kecacatan tersebut. Karena jika si penjual tetap mengajukan persyaratan pada kondisi semacam ini, ia sama saja menipu dan mengelabui konsumennya. Apalagi jika kita melihat kondisi di zaman sekarang, di mana kecurangan dan penipuan menyebar luas di tengah-tengah kita, maka pendapat Malikiyyah ini insyaAllah lebih mendekati kebenaran.
Kelima: Aib dan cacatnya ada pada akad transaksional (jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya) yang sudah ditentukan barangnya dan jelas deskripsinya, seperti tanah atau kendaraan. Oleh karenanya, khiyar ini tidak berlaku pada objek transaksi yang tidak ditentukan secara persis mana objeknya, seperti tukar menukar mata uang. Sebagaimana pula khiyar ini tidak berlaku pada akad non-transaksional (akad tabarru’/ pemberian).
Pengaruh khiyar aib pada sebuah akad/ transaksi
Sudah menjadi suatu hal yang umum untuk diketahui, akad sebelum adanya aib dan cacat, maka hukumnya lazim dan efektif, seluruh konsekuensinya pun berlaku seperti berpindahnya hak kepemilikan objek yang diakadkannya. Hanya saja, ketika mendapati sebuah cacat dan aib yang sudah ada sebelum akad, maka unsur keridaan yang membangun akad tersebut menjadi tidak sempurna.
Hak khiyar aib yang telah kita bahas sebelumnya ini menghilangkan kelaziman akad yang sudah ada bagi pihak pembeli. Ia diberi pilihan antara melanjutkan akad yang sudah ada dengan harga yang telah disepakati ataupun membatalkan akad tersebut dengan mengembalikan objek akadnya ke penjualnya dan harga yang sudah dibayarkan pun dikembalikan kepadanya secara sempurna. Apabila objek akadnya tidak bisa dikembalikan karena beberapa sebab, seperti munculnya aib dan cacat yang baru, atau karena sudah terpotong jika bentuknya itu berupa kain, maka bagi pembeli untuk mengembalikan harga yang sebanding dengan kekurangan pada barang yang disebabkan olehnya atau telah dimanfaatkannya. Wallahu a’lam bisshawab
[Bersambung]
Baca juga: Jual Beli dan Syarat-Syaratnya
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/84678-mengenal-khiyar-karena-adanya-aib-dan-kecacatan.html